Daniel Mohammad Rosyid @PTDI Jawa Timur
Hiruk pikuk kemeriahan pesta demokrasi di era reformasi terbukti memang memabukkan. Partai-partai politik baru bermunculan, dan kini menjadi instrumen meraih kekuasan yang menggiurkan. Banyak yang tidak menyadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara kita sudah tidak lagi dipijakkan secara formal di atas UUD 1945. UUD ini telah diubah sebanyak 4 kali berturut-turut selama 1999-2002 sejak pemerintahan Gus Dur hingga Megawati. Perubahan itu secara resmi disebut sebagai amandemen, padahal yang sebenarnya terjadi adalah penggantian total UUD 1945 menjadi konstitusi baru yg seharusnya disebut UUD 2002. Ini merupakan kesimpulan Prof. Kaelan UGM yg sudah resmi diterbitkan dan kini menjadi domain publik.
Walaupun belakangan disesali oleh M. Amien Rais sendiri sebagai Ketua MPR waktu itu, perubahan besar atas UUD 1945 diklaim oleh sebagian kaum reformis sebagai puncak kemenangan _civil society_ atas otoriterianisme Orde baru yg didukung tentara. Pilpres langsung dinilai sebagai bukti bahwa Islam bisa cocok dengan demokrasi liberal. Bahkan Indonesia dipuja sebagai negara demokrasi ketiga terbesar setelah AS dan India, tentu digunakan untuk sekaligus mengejek China. Namun sejarah mencatat, parpol Islamis tidak pernah menang dalam Pemilu bahkan sejak Pemilu 1955. Pemilu dengan demikian adalah instrumen untuk meresmikan kekalahan Islam politik di Indonesia.
Perubahan yg paling mendasar adalah bahwa MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara pemegang kedaulatan rakyat. MPR yg kini terdiri dari DPR dan DPD RI tidak lagi memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden. MPR hanya menyelenggarakan pelantikannya di mana presiden dan wapres yg terpilih melalui Pilpres langsung yang ditetapkan KPU disumpah oleh seorang hakim MA di depan sidang paripurna MPR. Jika presiden diduga melakukan penyimpangan, dia bisa dimakzulkan melalui proses yang rumit dan berliku hampir-hampir seperti memasukkan unta ke lubang jarum.
Kedaulatan rakyat itu dalam praktek melalui Pilpres telah ditransfer bersih ke partai2 politik sebagai satu-satunya lembaga yang bisa mengajukan pasangan capres dan cawapres. Namun banyak Ketua Partai yang seharusnya menjadi kader terbaik untuk nyapres ternyata cukup puas dengan hanya menjadi makelar politik bagi tokoh lain non-partai. Nasdem dan PKS misalnya mencalonkan capres Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 yang lalu. Dr. Mulyadi FISIP UI melihat gejala ini sebagai kejahatan jika bukan pelanggaran kaidah-kaidah partai politik. Ini bisa disebut sebagai demokrasi mbelgedhes.
Setelah liberalisasi pasar politik, perubahan mendasar lainnya adalah penambahan Pasal 33 UUD 1945 dengan ayat baru yang membuka gagasan kapitalistik dalam kehidupan ekonomi. Jika selama Orde Baru telah muncul fenomena _ersatz capitalism_ di mana lahir pengusaha yang membesar karena fasilitas negara, maka sejak reformasi, kapitalisme semu itu berkembang pesat menjadi _full fledged capitalism_ di mana demokrasi praktis digusur oleh korporatokrasi. Para elite parpol bersekongkol dengan para taipan _super rich_ leluasa membuat UU sebagai instrumen untuk mengakumulasi kekuasaan dan modal di tangan mereka sendiri.
Politik menjadi barang yang semakin mahal, sehingga mendorong motif2 korupsi baru yang mestinya diberantas oleh KPK. Namun bahkan KPK pun diperlemah, sementara RUU Perampasan Aset Koruptor masih tinggal RUU karena tidak pernah diproses oleh DPR. Tujuan reformasi demokratisasi, pemberantasan korupsi, dan desentralisasi, terbukti tinggal pepesan kosong seperti keluhan dan protes Gunawan Muhammad, Romo Frans Magnis, Butet Kartarajasa, Ikrar Nusa Bakti dan Todung Mulya Lubis dan para _die hard jokower_ lain yg selama 10 tahun terakhir menjadi pemuja Jokowi. Jokowisme adalah anak remaja yg dilahirkan dan dibesarkan oleh UUD2002.
UUD 1945 telah dirumuskan oleh para tokoh, cendekiawan dan ulama pendiri dan guru bangsa dariberbagai latar belakang sebagai pernyataan perang melawan penjajahan. UUD 1945 adalah halangan terbesar upaya-upaya proyek neokolonisasi atas Republik ini. Bahkan segera setelah proklamasi, kekuatan-kekuatan nekolimik itu telah berhasil mencegah UUD1945 dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Kekuatan-kekuatan nekolimik itu terus bekerja hingga hari ini setelah memperoleh kekuatan baru dari penggantian UUD 1945 menjadi UUD 2002.
Tentu Kembali ke UUD 1945 hanyalah syarat perlu. Konvensi Konstitusi ini dimaksudkan untuk memberi _public pressure_ sekaligus _public support_ pada pemerintahan baru pimpinan presiden Prabowo dan juga TNI untuk kembali ke UUD 1945 naskah asli. Perubahan bisa dilakukan kemudian dengan teknik _addendum_ untuk mengakomodasi perubahan2 lingkungan stratejik. Setelah itu, kita mesti tindak lanjuti dengan mewujudkan syarat cukupnya yaitu GBHN yang mewujudkan 1) pendidikan yg memerdekakan bagi semua, 2) birokrasi pusat dan daerah yg kompeten dan bebas KKN, 3) pasar terbuka yg adil bebas riba, 4) investasi yang menguatkan kemandirian dan hilirisasi, 5) pasokan energi yang memadai dan berkelanjutan untuk tumbuh 5-7% pertahun selama 10-20 tahun ke depan, dan 6) pemerintahan maritim yg efektif untuk memperluas basis energi dan pangan nasional. Dengan kedua syarat itu, insyaa Allah bangsa ini menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur بلدة طيبة ورب غفور.
Surabaya, 25 Oktober 2024.