Berguru, bukan Bersekolah
Daniel Mohammad Rosyid @Rosyid College of Arts
Kemarin adalah Hari Guru Nasional. Setelah kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka, kini baik prof. Satryo maupun prof. Abdul Mu’thi sedang menata kembali peran guru yang selama ini sulit disebut merdeka karena harus terus menyesuaikan perubahan kurikulum. Sulit mengatakan guru memiliki otonomi yg cukup. Lalu kriminalisasi atas seorang guru honorer baru-baru ini oleh seorang walimurid polisi karena sang guru dinilai melanggar hak anak, serta kasus doktor kilat di SKSG UI menunjukkan spektrum krisis guru yg mendera Republik ini.
Selama lebih 5 tahun terakhir Nadiem telah menjadikan pendidikan sebagai semacam applied science dengan berbagai aplikasi yg makin populer sejak pandemi covid. Pelajaran dan kuliah makin banyak diselenggarakan secara daring atau online. Baik siswa maupun mahasiswa makin virtualized, jika bukan 2-dimensionalized. Jika belajar adalah proses memaknai pengalaman, maka baik siswa maupun mahasiswa makin miskin pengalaman yg secara esensial bersifat 3-D di mana waktu menjadi bagian penting.
Bahkan sejak sebelum pandemi, peran internet makin besar dengan melubangi tembok2 sekolah yg tinggi dan tebal. Sekolah dan kampus mengalami disrupsi besar2an. Sebagai institusi, keduanya harus meninjau ulang rencana2 stratejik mereka, juga model bisnisnya.
Namun itu belum terjadi. Padahal tanpa reposisi perannya, baik sekolah maupun kampus akan menjadi museum, dan guru serta dosen akan menjadi dinosaurus.
Ki Hajar menyebut 3 pilar pendidikan, yaitu keluarga, masyarakat, dan perguruan. Baru2 ini, prof. Abdullah Shahab dari ITS mengingatkan bahwa universitas itu adalah perguruan tinggi, bukan institusi penelitian tinggi dengan target2 publikasi dan world class ranking yang makin foot-lose dengan realitas di sekelilingnya. Ada resiko irelevansi saat banyak institusi pendidikan terobsesi dengan mutu berstandard internasional. Kapan ITB, atau ITS misalnya bisa bersanding dengan MIT, CalTech atau Stanford ?
Saya kira schools are soon to be out dated. Kita harus segera meninggalkan paradigma sekolah menuju paradigma berguru dan belajar. Belajar selalu membutuhkan guru, bukan sekolah. Sekolah suatu ketika adalah inovasi institusi untuk mendukung revolusi industri 200 tahun silam untuk menyiapkan buruh yg cukup trampil menjalankan mesin2 sekaligus cukup dungu untuk setia bekerja bagi pemilik modal. Belajar sebagai sebuah emergent phenomena tidak pernah membutuhkan formalisme sekolah. Sugata Mitra mengajukan Self Organized Learning Environment (SOLE) semacam Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang lebih informal.
Rasulullah suatu ketika mengatakan bahwa hanya ada 2 macam pekerjaan, yaitu guru dan selain guru. Setiap orang mengguru saat mengajarkan sesuatu, terutama melalui praktek. Di sat lain setiap manusia adalah murid yang belajar sesuatu dari teladan guru. Pada akhirnya tujuan belajar adalah untuk memperbaiki praktek. Jika praktek hukum kita bermasalah, tajam ke bawah, tumpul ke atas, itu karena para hakim, jaksa, dan polisi merasa bukan guru.
Selamat Hari Guru !
Anjasmoro Valley, Wonosalam 600mdpl. 26 Nop.2024