Deschooling Indonesia – Daniel Mohammad Rosyid @Rosyid College of Arts

Deschooling Indonesia
Daniel Mohammad Rosyid @Rosyid College of Arts

Masalah pokok dalam pendidikan Indonesia adalah bahwa pendidikan sebagai kebajikan publik telah dimonopoli secara radikal oleh persekolahan. Akibatnya pendidikan sebagai kesempatan belajar justru makin langka dan makin tidak terjangkau oleh publik. Beberapa sekolah “favorit” justru membentuk klas2 sosial dan feodalisme baru serta menjadi tempat terbaik untuk menyombongkan diri. Sekolah yg bukan favorit pun sering terlalu keras berusaha untuk memberi kesan dan pesan sebagai satu2nya tempat belajar. Warga yg tidak bersekolah langsung dinilai kampungan atau tidak terdidik.

Padahal pendidikan sebagai kesempatan belajar tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan yg rumit dan birokratik. Belajar sebagai emergent phenomena bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja. Setiap orang sebenarnya guru sekaligus murid. Gurid. Menjadi guru saat meneladankan sesuatu, menjadi murid saat mencoba teladan itu. Belajar sebagai proses memaknai pengalaman adalah sebuah proses yang tidak pernah berhenti sampai mati. Sugata Mitra telah menganjurkan Self Organized Learning Environment, semacam pusat2 kegiatan belajar masyarakat sebagai layanan pendidikan yg lebih relevan, luwes, dan murah.

Stunting yang kini mengancam bonus demografi kita sebagian disebabkan karena keluarga sebagai institusi dinilai tidak sepenting sekolah dalam perencanaan pembangunan. Keluarga dilemahkan sehingga tidak mampu menyediakan makanan yg cukup bergizi untuk dapat membantu tumbuh kembang generasi muda agar sehat dan produktif. Keluarga harus kembali dilihat sebagai satuan edukatif sekaligus produktif. Jangan mengulangi blunder demografi negara2 maju yg kini menjadi ageing society sekaligus secara moral mengalami dekadensi.

Mempersempit belajar menjadi sekedar bersekolah saja adalah sesat dan menyesatkan. Sekolah berpotensi menjadi lembaga penganut aliran sesat seperti memberhalakan STEM, menelantarkan seni, adab dan akhlaq. Lalu memaksa murid harus lulus test standard seperti Ujian Nasional untuk dinyatakan lulus -seperti terjadi beberapa tahun silam- adalah pelanggaran HAM. Belajar seharusnya pupil-centered, bukan berpusat pada birokrasi agar semua potensi warga belajar yg unik dan beragam bisa berkembang secara maksimal. Sekolah telah menjadi instrumen teknokratik untuk memburuhkan masyarakat. Sir Ken Robinson bahkan mengatakan, melalui penyeragaman massal, sekolah adalah satu2nya lembaga yg paling bertanggungjawab atas krisis sumberdaya manusia di Abad 20 hingga hari ini.

Persoalan kita saat ini bukannya kurang jumlah sekolah dan kurang lama bersekolah, tapi justru kebanyakan bersekolah, too much schooling, not the lack of it. Ini terjadi di mana-mana di planet ini, termasuk di AS sekalipun. Ivan Illich sejak tahun 1970an sudah menganjurkan agar dilakukan deschooling society justru untuk meningkatkan kesempatan belajar bagi, masyarakat.

Pendidikan sebagai upaya memperluas kesempatan belajar merdeka harus dibebaskan dari monopoli sekolah. Keluarga dan masyarakat harus diberi kesempatan dan tugas untuk mendidik warga mudanya agar sanggup mandiri, bertanggungjawab, sehat dan produktif pada usia sekitar 18 tahun. Memperkuat keluarga muda agar mampu mengemban tugas2 belajar bagi generasi penerus sangat penting justru agar nilai2 keluarga sebagai satuan terkecil sebuah bangsa bisa tetap hidup subur. Negara2 yg menyebut dirinya negara maju sekarang mulai terancam eksistensinya akibat keruntuhan nilai2 keluarga.

Kampus bukan kelanjutan dari bagian pendidikan universal, karena mengemban tugas yg berbeda, yaitu tugas2 inovasi dan knowledge creation. Kebutuhan pendidikan tinggi yg meningkat akhir2 ini membuktikan kegagalan persekolahan untuk menyediakan warga muda yg siap bermasyarakat pada umur 18 tahun. Ini telah mendongkrak UKT yg dimanfaatkan oleh banyak PTN untuk meningkatkan kapasitasnya. Akibatnya mulai dirasakan oleh PTS yang sudah agak lama banyak yang menjadi sekedar pabrik ijazah. Bahkan di AS sekalipun, manfaat pendidikan tinggi mulai diragukan pada saat biaya kuliah meningkat sementara gaji lulusan universitas juga tidak pasti, bahkan cenderung turun selama beberapa puluh tahun terakhir.

Benar bahwa pendidikan untuk semua harus disediakan oleh semua. Menyerahkan pendidikan hanya pada sekolah adalah mission impossible bagi negara manapun, apalagi untuk Indonesia sebagai negara kepulauan seluas Eropa dengan potensi2 agromaritim yg melimpah ini. Pasrah bongkokan pada sekolah dan guru profesional adalah sikap orangtua yang tidak bertanggungjawab. It takes the whole village to raise a child.

Danga Bay, Skudai, Johor. 25 September 2024.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *